Sharing about programming and my personal activities.

Frieren (Eps. 02)

F

Baca Episode 01 di sini.


Setelah beberapa waktu berlalu, aku dan Frieren berhasil menemukan petunjuk penting di Perpustakaan Nijo di Kyoto. Kami menemukan sebuah dokumen yang mengarahkan kami ke kota Brandan, tempat terakhir yang dikunjungi kakek sebelum hilang. Kami bersemangat untuk memulai perjalanan ini dan berharap menemukan jawaban dari semua misteri yang selama ini membayangi.

Menjelang keberangkatan, kami sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Kami kembali ke Tokyo terlebih dahulu dan nantinya akan ke Brandan via Osaka. Menggunakan shinkansen, kurang dari 3 jam, perjalanan 372 kilometer itu pun selesai. Kami tiba di Tokyo. Suasana kota ini selalu ramai, dengan pejalan kaki yang sibuk dan suara kendaraan yang tidak pernah berhenti. Kami bergegas kembali ke apartment masing-masing. Frieren akan menyiapkan perbekalan kami termasuk tiket perjalanan, sementara aku harus memastikan semua dokumen penting tersimpan dengan aman dan bisa kami bawa dalam perjalanan ini.

Besoknya kami bertemu kembali. “Dua hari lagi kita berangkat,” kata Frieren sambil menyerahkan tiket perjalanan kami kepadaku. “Aku merasa kita semakin dekat dengan jawaban.”

“Aku juga merasakannya,” jawabku. “Setelah menemukan petunjuk di Kyoto, kita harus segera ke Brandan. Aku punya firasat kuat tentang tempat itu.”

Namun, sehari sebelum keberangkatan, Frieren tiba-tiba menghilang. Pagi itu, ketika aku datang ke apartemennya, pintu terbuka lebar dan ruangan terlihat berantakan. Hatiku langsung berdegup kencang. Aku mencari di seluruh penjuru kota, bertanya kepada setiap orang yang mungkin melihatnya, tapi tidak ada yang tahu. Di tengah kekacauan itu, aku menemukan sebuah catatan di meja kerjanya. Catatan itu hanya berisi pesan singkat dalam bahasa Jepang: “なにかがおきました、ブランドンでわたしにあってください” (nanika ga okimashita, Brandan de watashi ni atte kudasai), yang berarti “Sesuatu telah terjadi, temui aku di Brandan.”

Khawatir dan bingung, aku merasakan gelombang kepanikan yang kuat menguasai diriku. Jantungku berdetak kencang dan pikiranku dipenuhi oleh bayangan buruk. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Brandan, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut di sana. Perjalanan ke Brandan akan memakan waktu beberapa hari karena kami memilih jalur laut. Jalur udara mewajibkan pemeriksaan semua dokumen, dan kami khawatir pencarian kami akan terungkap sebelum menemukan jawabannya.

– – –

Pukul 21.37 malam. Hawa dingin Osaka langsung bertiup ke arahku ketika aku berjalan ke lorong stasiun. Osaka adalah kota yang sibuk dengan perpaduan antara modernitas dan tradisi. Bangunan-bangunan tinggi berdampingan dengan kuil-kuil kuno dan jalan-jalan kecil yang dipenuhi dengan kedai makanan. Lampu neon yang berkilauan menghiasi jalan-jalan utama, sementara aroma makanan yang menggugah selera menyebar dari berbagai yatai (kedai makanan) yang berjejer di pinggir jalan.

Aku menyusuri Dotonbori, salah satu daerah terkenal di Osaka yang penuh dengan kehidupan malam. Jalanan dipenuhi dengan orang-orang yang menikmati makanan, berbelanja, atau sekadar berjalan-jalan. Kanal-kanal yang bersih dan jembatan-jembatan indah menambah keunikan daerah ini. Patung Glico Man yang ikonik berdiri megah, menjadi pusat perhatian para wisatawan yang sibuk berfoto.

Namun, di balik keramaian dan gemerlap kota ini, kecemasanku tentang Frieren tidak berkurang. Aku bergegas menuju pelabuhan untuk menaiki kapal laut KM Budiono Siregar yang akan membawaku ke Brandan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah beban di pundakku semakin bertambah dengan setiap detik yang berlalu.

Selama perjalanan di atas kapal KM Budiono Siregar, kecemasan terus menggerogoti pikiranku. Setiap kali angin laut menerpa wajahku, aku merasakan campuran antara kebebasan dan ketakutan. Aku sering berdiri di dek, menatap lautan luas yang seolah tiada berujung, berusaha menenangkan pikiran yang gelisah. Kapal ini, dengan semua derit dan goyangannya, terasa seperti pelarian dari kenyataan yang keras, tetapi ketidakpastian mengenai nasib Frieren menghantui setiap detik.

Malam hari, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang, menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Namun, keindahan itu tidak mampu meredakan kecemasanku. Suara ombak yang memecah di lambung kapal menjadi musik latar yang menenangkan bagi orang lain, tapi bagi aku, itu adalah pengingat konstan akan betapa rapuhnya situasi ini. Pikiran tentang apa yang mungkin terjadi pada Frieren terus menghantui malam-malamku di kapal, membuatku sulit tidur.

Suatu malam, saat aku berdiri di dek, seorang awak kapal mendekatiku. “Apa yang membuatmu gelisah, Nak?” tanyanya dengan suara lembut.

Aku menoleh dan melihat wajahnya yang penuh perhatian. “Ah, tidak apapa, Pak.” jawabku dengan suara berat, mencoba menghindari percakapan lebih lanjut.

Dia mengangguk mengerti. “Sebagaimana laut, hidup ini juga penuh dengan misteri.” Tiba-tiba si Bapak melanjutkan pembicaraan. Ya, sepertinya aku salah paham, ternyata dia tidak mengerti. “Ibaratnya kamu dihadapkan dengan 2 pilihan, makan gratis atau sekolah gratis.” Lalu dia terdiam sejenak. ” Kalau kamu pilih sekolah gratis, maka kamu akan mendapatkan keduanya. Namun jika kamu memilih makan gratis, maka kamu tidak akan mendapatkan yang manapun.”

Kata-kata itu sedikit membingungkanku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan jika yang terpilih adalah makan gratis?” tanyaku kepadanya. “JGT”, “JGT? Maksudnya?” tanyaku lagi makin kebingungan. “Menarilah.” jawabnya singkat. “Dan terus tertawa?”, “Ya, walau dunia tak seindah surga.”

Malam itu, percakapan panjang kami akhirnya ditutup dengan berbagi hikmah tentang kisah para Nabi di masa lalu. Hingga tanpa sadar, Pulau Sumatera pun terlihat bersamaan dengan terbitnya matahari di subuh itu.

– – –

Ketika kapal akhirnya merapat di dermaga Pelabuhan Brandan, dan aku mulai menyusuri kota ini, aku langsung merasakan nuansa kota yang berbeda. Brandan adalah kota kecil yang indah, dengan bangunan-bangunan yang masih terawat baik, jalanan berbatu, dan suasana tenang yang membuat siapa pun merasa nyaman. Brandan terasa seperti potongan dari masa lalu, dengan kanal-kanal yang indah dan bangunan bergaya Belanda yang megah. Warisan arsitektur kolonial Belanda terlihat jelas di setiap sudut kota, memberikan nuansa klasik yang unik.

4 hari berlalu, aku masih melanjutkan menyusuri jalanan kota, mencari petunjuk tentang Frieren dan petunjuk dari dokumen yang kami temukan. Jalan-jalan sempit dengan batu cobblestone, rumah-rumah dengan jendela besar dan taman bunga kecil di depan, memberikan kesan bahwa waktu berjalan lebih lambat di sini. Kanal-kanal yang bersih mengalir tenang di sepanjang kota, memantulkan bayangan bangunan yang kokoh.

Di tengah perjalanan, aku merasa ada yang mengikutiku. Saat aku menoleh, aku melihat seorang gadis berdiri di ujung jalan, menatapku dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Gadis itu memiliki rambut panjang berwarna cokelat yang diikat rapi ke belakang, dan mata biru terang yang memancarkan kilauan yang sulit diartikan. Dia mengenakan pakaian kasual namun rapi, seperti seorang profesional yang baru saja selesai bekerja. Aku mencoba mengabaikannya dan melanjutkan pencarianku, tapi bayangan gadis itu terus menghantui pikiranku.

Sore harinya, aku memutuskan untuk kembali mengunjungi Perpustakaan Bgjab. Ini adalah perpustakaan tertua di Brandan. Tempatnya tenang dan sunyi, dengan rak-rak buku tinggi yang dipenuhi oleh buku-buku lama. Aroma khas buku-buku tua mengisi udara, menciptakan suasana nostalgia yang menenangkan. Cahaya matahari senja menembus jendela-jendela besar, memantulkan bayangan yang indah di lantai kayu yang usang.

Di sudut perpustakaan, aku melihat gadis yang tadi mengikutiku. Dia tampak seolah sedang mencari sesuatu di antara buku-buku, jarinya yang ramping menyusuri punggung buku-buku dengan lembut. Ketika aku mendekatinya, dia menoleh dan tersenyum. Senyumannya hangat dan menenangkan, membuat hatiku berdetak lebih kencang.

“Eindelijk ontmoeten we elkaar (Akhirnya kita bertemu),” katanya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Mijn naam is Roxy (Namaku Roxy).”

“Mijn naam is Bara (Namaku Bara),” jawabku bingung, masih mencoba memahami situasi ini. “Volg je me (Apa kamu mengikuti aku)?”

“Maaf jika membuatmu tidak nyaman. Aku mendengar tentang seorang pria yang bertanya tentang simbol aneh, dan aku merasa itu adalah kamu,” kata Roxy. “Aku sudah mencari-cari kamu selama beberapa hari.”

Roxy memiliki keanggunan alami yang sulit diabaikan. Penampilannya yang kasual namun rapi dan sikapnya yang tenang memberi kesan bahwa dia adalah seorang profesional. Setiap gerakannya tampak lembut dan penuh perhitungan, seperti seorang arsitek yang mengamati dan memahami setiap detail bangunan. Mata birunya yang terang memancarkan kehangatan dan keingintahuan, dan senyumannya memberikan kesan bahwa dia tahu lebih banyak daripada yang dia ungkapkan.

“Bagaimana kamu tahu itu aku?” tanyaku, masih bingung dengan pertemuan ini.

“Ada sesuatu dalam cara kamu bertanya dan mencari tahu. Kamu terlihat sangat tekun dan fokus,” jawabnya sambil tersenyum lebih lebar. “Aku seorang arsitek, dan nenekku pernah bercerita tentang simbol-simbol ini. Ketika aku melihatmu, aku merasa bahwa ada kaitannya.”

Ketika dia menunjukkan sebuah medali kuno yang diberikan oleh neneknya, aku terkejut melihat simbol yang sama dengan yang ditemukan dalam penyelidikanku. Medali itu bersinar lembut di bawah cahaya lampu perpustakaan, membuatku merasa seolah-olah aku berada dalam sebuah cerita kuno.

“Medali ini… Aku pernah melihat simbol yang sama dalam penyelidikanku,” kataku sambil memeriksa medali tersebut.

“Serius? Aku penasaran tentang apa yang kamu temukan. Mungkin kita bisa mencari tahu lebih banyak bersama,” jawab Roxy dengan mata berbinar.

Aku merasa tarikan yang kuat terhadap Roxy, seolah-olah ada benang merah tak terlihat yang menghubungkan kami. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap senyuman yang dia berikan, membuatku semakin yakin bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang mendalam dan berarti dalam tatapan mata kami, sesuatu yang melebihi penjelasan logis.

Kami duduk di meja kayu yang terletak di sudut perpustakaan, dikelilingi oleh ribuan buku yang tampak seperti saksi bisu dari percakapan kami. Roxy bercerita tentang kehidupannya sebagai seorang arsitek, tentang neneknya yang penuh dengan petualangan dan rahasia. Suaranya mengalun lembut, menciptakan melodi yang menenangkan di telingaku.

“Sebenarnya, aku sedang mengerjakan proyek penelitian tentang bangunan bersejarah dan simbol-simbol yang terkait dengan arsitektur kuno,” kata Roxy sambil menatap medali di tangannya. “Simbol ini adalah salah satu yang menarik perhatianku, dan aku tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang memiliki hubungan dengan simbol ini.”

Aku tersenyum, merasakan perasaan yang sama. “Aku juga tertarik dengan simbol-simbol ini. Mungkin kita bisa bekerja sama untuk menemukan jawabannya.”

Malam itu, di perpustakaan yang sunyi, kami berbicara selama berjam-jam, saling bertukar informasi dan pandangan. Di luar, kabut tebal mulai menyelimuti kota, menutupi jalanan dengan lapisan putih yang pekat. Pertemuan dengan Roxy membawa harapan baru dalam pencarianku, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Beberapa hari berlalu. Penyelidikan masih buntu. Kecuali satu hal. Perlahan, aku menyadari bahwa aku mulai merasakan ketertarikan pada Roxy, meski pikiranku masih dipenuhi oleh kekhawatiran tentang Frieren.

Kami telah mengunjungi berbagai tempat bersejarah, museum, dan perpustakaan kota. Ketika aku sudah hampir putus asa, di salah satu bekas kilang minyak peninggalan Belanda, kami akhirnya bertemu dengan seseorang yang sudah mendapatkan gelar haji dari usia 2 bulan. Out of nowhere, dia lalu memberikan sebuah dokumen yang memuat informasi tentang sebuah organisasi rahasia yang telah mengawasi keluarga kami selama beberapa generasi.

Malam itu, di sebuah penginapan bernama De Graaf yang terkenal dengan suasana klasik Belanda, setelah membaca dokumen yang kami dapatkan tadi, mencocokkannya dengan semua petunjuk yang telah kami kumpulkan selama ini, aku dan Roxy akhirnya mengetahui bahwa ada 2 organisasi rahasia di balik semua kejadian ini. Dua organisasi yang telah bertarung sejak dulu. Salah satunya adalah organisasi yang memiliki simbol sama dengan buku catatan kakekku, kakeknya Frieren, dan neneknya Roxy.

Setelah beberapa saat mencocokkan berbagai petunjuk, kami akhirnya mengetahui bahwa salah satu markas dari organisasi musuh berada di kota ini. Lengkap dengan peta tersembunyinya. Dan tentu saja, kami memutuskan untuk menyelinap ke sana. Ini adalah petunjuk terbesar sejak pencarianku dimulai, dan tentu aku tidak akan melewatkannya begitu saja.

Markas organisasi musuh yang kami cari terletak di sebuah bangunan bernama Huis Van Dam yang tersembunyi di ujung jalan. Bangunan itu dikelilingi oleh tembok tinggi dengan pintu besi besar. Namun bangunan itu benar-benar sangat sepi. Di dalam, suasana terasa gelap dan menyeramkan, dengan lorong-lorong yang sempit. Satu-satunya penerangan adalah cahaya temaram dari grup lampu-lampu kota yang mampu menelisik ke celah-celah bangunan.

Di dalam markas organisasi, kami menemukan petunjuk bahwa Frieren ditahan di sebuah tempat tersembunyi. Roxy menatapku dengan raut wajah khawatir namun juga sedikit cemburu.

“Ini mungkin jebakan?” katanya, suaranya bergetar sedikit. “Mengapa kamu begitu yakin untuk menyelamatkannya? Bagaimana jika kita malah terperangkap?”

Aku melihat mata birunya berbinar dan penuh kekhawatiran. “Bahkan jika sekalipun itu benar, aku akan tetap ke sana,” jawabku dengan tegas. “Frieren sangat penting bagiku. Aku tidak bisa meninggalkannya.”

Roxy menghela napas, rasa kesalnya terlihat jelas, namun ia tetap memutuskan untuk mendukungku. “Baiklah, kita lakukan ini bersama. Tapi kita harus berhati-hati.”

Dengan sedikit nekat, aku dan Roxy akhirnya bekerja sama untuk masuk lebih dalam, berusaha untuk menemukan bukti tambahan, dan tentu saja menyelamatkan Frieren. Hampir empat jam berlalu, kami berjalan semakin dalam. Cahaya lampu-lampu kota semakin meredup. Digantikan dengan cahaya dari keluarga kunang-kunang yang entah darimana datangnya. Kami merangkak melalui lorong-lorong sempit dan menghindari penjaga yang berpatroli.

Akhirnya, kami tiba di sebuah ruangan sel yang tidak terkunci. Entah ini benar jebakan atau tidak, wakaranai. Ruangan itu gelap, tapi aku dapat dengan jelas melihat siapa yang ada di dalam sana. Frieren terbaring lemah di sudut, terikat dan tampak sangat lelah.

“Frieren!” panggilku dengan suara bergetar, bergegas mendekatinya. “Akhirnya aku menemukanmu T-T.”

Aku membebaskan ikatan Frieren dan membantunya berdiri. “Bara? Kamu benar-benar datang,” katanya dengan suara lemah namun penuh kelegaan.

“Tentu saja, aku hampir gila karena kau meninggalkanku dengan tiba-tiba.” jawabku setengah kesal, namun melihat kondisi Frieren yang seperti itu, aku sangat bersyukur dia masih hidup.

“Bara? Bagaimana kamu menemukanku?” tanya Frieren dengan suara lemah.

“Mengenai itu kita bahas nanti saja. Tapi yang jelas, aku mengikuti petunjuk yang kita temukan. Roxy juga membantuku memperdalam petunjuk-petunjuk itu,” jawabku.

Aku menoleh ke arah Roxy untuk mengenalkannya kepada Frieren, tapi Roxy tidak ada di sana.

“Roxy? Roxy, di mana kamu?” tanyaku, bingung.

“Siapa Roxy?” tanya Frieren, kebingungan. “Bara, kamu sendirian sejak tadi.”

“Roxy, gadis yang membantuku menemukanmu. Justru sejak tadi, dia bersama kita,” jawabku panik.

“Aku tidak melihat siapa-siapa selain kamu, Bara,” kata Frieren sambil memandangku dengan cemas.

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Teringat momen pertemuanku pertama dengan Frieren, saat aku membayar pesanan kami di kafe.

“Kamu yakin ingin membayar untuk dua orang? Sejak tadi kamu hanya sendirian,” kata kasir kafe dengan wajah bingung saat itu.

Mengabaikan kebingunganku, aku harus fokus pada situasi saat ini. “Brakkk!!” Tiba-tiba terdengar suara seperti orang yang mendekat. Sepertinya itu penjaga. Tempat ini terlalu gelap. Aku tidak dapat menemukan Roxy. Dan yang jelas, kami harus keluar dari sini secepatnya dengan selamat dan membawa bukti yang kami temukan. Aku menggendong Frieren, bergerak cepat menyusuri kembali lorong-lorong sempit, berusaha menghindari perhatian dari penjaga yang kami tak tahu sama sekali dimana mereka berada.

Setelah berhasil keluar dari markas, aku membawa Frieren kembali ke penginapan. Selama pelarian tadi, bukannya beristirahat atau menceritakan kenapa ia menghilang secara tiba-tiba, gadis ini justru terus mengeluhkan ingin mandi secepatnya.

Malam itu, kami kembali bertukar petunjuk. Frieren tidak dapat menjelaskan alasannya menghilang, dia butuh waktu katanya. Tapi dia memberikan suatu catatan baru, yang langsung aku cocokkan dengan hasil penelitianku selama ini bersama Roxy.

Singkatnya, ternyata, kakek kami sedang dalam misi untuk menghentikan rencana besar organisasi musuh yang berbahaya. Organisasi itu di masa depan berencana membangun dinasti kekuasaan yang dipimpin oleh seorang presiden yang sangat licik. Dia dikenal sebagai orang yang tampak bodoh di depan publik, tetapi kenyataannya sangat munafik dan manipulatif. Dengan menggunakan kekuasaannya, dia telah menyebabkan kerusakan yang tak terhitung jumlahnya, menghancurkan kehidupan banyak orang demi ambisinya sendiri. Kakek kami mengetahui rencana jahat ini dan berusaha mengungkap kebenaran kepada dunia.

Tempat ini sudah tidak aman, mereka pasti mengetahui bahwa Frieren telah menghilang. Kami harus segera kembali ke Jepang. Di sebuah perpustakaan bernama Bibliotheek Van Brandan, kami menemukan petunjuk terakhir yang menunjukkan lokasi rahasia di Jepang yang mungkin menjadi kunci untuk menghentikan organisasi tersebut. Namun, sebelum kami bisa melakukan langkah selanjutnya, Frieren menerima pesan rahasia yang hanya dia yang bisa baca, yang membuatnya tiba-tiba cemas.

“Ada sesuatu yang harus aku selesaikan sendiri, Bara. Aku akan kembali secepatnya,” kata Frieren dengan tegas.

“Apa yang terjadi, Frieren? Biarkan aku membantumu,” jawabku, cemas.

“Percayalah padaku. Aku akan segera kembali,” katanya sambil memelukku sebelum bergegas pergi.

Kami berpisah di sebuah stasiun kereta api. Aku menatap kepergian Frieren dengan penuh harap, sementara bayangan misterius mengawasi dari kejauhan. Di saat yang sama, aku merasa cemas tentang keberadaan Roxy yang masih menghilang. Di dalam hatiku, aku tahu bahwa perjalanan ini belum selesai.

Dengan petunjuk baru di tangan, aku bersiap melangkah ke masa depan yang penuh ketidakpastian, berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini menghantui. Cerita ini belum berakhir. Namaku Bara. Bukan nama asli memang. Tapi aku biasa dipanggil begitu. Tahun ini usiaku tiga puluh. Dan hari ini, aku kehilangan semua perempuan yang ku kenal.

Bersambung.

About the author

jabbarpanggabean

Software Engineer, mostly talks in Kotlin but also can speak PHP or JavaScript. I do love Arsenal for its beauty of football, passion, history, and every single memories with Father. #FreePalestine 🍉

5 Comments

Sharing about programming and my personal activities.

Let’s connect!

Jalan-jalan ke kota Medan
Singgah sebentar membeli katun
Kalau berkenan marilah berteman
Supaya dapat berbagi pantun